SOSIOLOGI SASTRA
Disusun oleh : Ihrom Maulana, S.Pd.BAB1
HAKIKAT SOSIOLOGI SASTRA
1.
Sosiologi Sastra
Berbicara tentang sosiologi sastra berarti kita akan
mengulas dua perspektif ilmu yang berbeda yaitu psikologi dan sastra. Maka, kita
harus mengetahui apa itu sosiogi ? , apa itu sastra ? dan apa hubungan kedua
ilmu tersebut ?. Seorang ilmuwan sastra seperti Swingewood dalam The Sociology
of Literature (1972) terlebih dulu menjelaskan batasan sosiologi sebagai sebuah
ilmu, batasan sastra, baru kemudian menguraikan perbedaan dan persamaan antara
sosiologi dengan sastra.
Sosiologi merupakan bidang ilmu yang mempelajari hubungan
dan pengaruh timbal balik bebagai macam ciri-ciri umum semua jenis gejala
sosial dan non sosial di masyarakat (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga,
dan gejala moral, Pitirim Sorokin (Soerjono Sukanto,1969:24). Serta Sosiologi
study mengenai manusia di masyarakat dan harus berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
mengapa masyarakat itu bertahan hidup Swingewood (1972). Bertalian dengan
pendapat tersebut sosiologi merupakan sebuah ilmu yang berfokus untuk
mempelajari manusia di dalam lingkungan masyarkat. Lalu, apakah sosiologi
sebuah ilmu normatif ?, Sosiologi boleh dianggap bukan suatu ilmu yang bersifat
normatif, ia dapat memberikan pengetahuan yang dapat menimbulkan sikap normatif
kalau pengetahuan itu kita olah berdasarkan akal dan kecerdasan kita.
Kemudian kita harus mengetahui apa itu sastra? Sastra adalah
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri
merupakan ciptaan social. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan
itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan
mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang,
antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Damono,
1979:1). Berdasarkan pendapat tesebut sastra merupakan gambaran dari sebuah fenomena
realitas kehidupan antar masyakat. Gambaran itu dibuat oleh pengarang yaitu
anggota masayrakat social dengan menggunakan bahasa.
Obyek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam
menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan
memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan
tertentu. Henry James mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis “data” kehidupan
sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan
ke dalam karya sastra.
Sapardi Djoko Darmono
berpandangan bahwa karya sastra memang tidak jatuh begitu saja dari
langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Oleh sebab itu karya sastra memang akan selalu berkaitan dengan tiga hal
tersebut, yaitu sastrawan sebagai penciptaan karya, sastra dianggap sebagai
gambaran realitas sosiol masyarakat, dan masyarakat dianggap sebagai pembaca.
Sosiologi sastra menjadi salah satu Pendekatan terhadap
sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Keduanya memiliki
kakajian yang sama, yaitu memahami hubungan manusia dalam masyarakat. Bedanya,
kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan
masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana
masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada;
maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah
secara subjektif dan personal (Damono,1979).
2.
Karya Sastra dipandang dari Perspektif
Sosiologi Sastra
Karya sastra lahir dan tumbuh dimasyarakat. Karya sastra
dilahirkan oleh seorang pengarang yaitu kelompok masyarakat yang melihat dari sudut
pandang realitas sosial yang terjadi. Oleh karena itu, dalam perspektif
sosiologi sastra, karya sastra harus di pahami dalam hubungan dengan segi-segi
kemasyarakatan. Dan sebagai representasi dari realitas yang terjadi dalam
masyarakat. Karya sastra bisa menjadi rekaman segala peristiwa sosial, budaya, maupun politik yang terjadi
dalam masyarakat pada masa tertentu. Kemudian rekaman realitas masyarakat itu
dijadikan sebuah dokumen dalam bentuk karya sastra. Kita bisa lihat karya
sastra seperti novel Belenggu yang merupakan novel karya anak bangsa padamasa
perang ke-II dengan penuh penghayatan dapat mengkomposisikan penceritaan dan
nilai-nilai kebaruan yang dimunculkan, sehingga membuat novel ini bebas dari
konvensi prosa lama (Junus, 1986).
Dengan demikian,
keadaan kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam
melahirkan karya sastra, dan pengarang akan membuat sebuah karya sastra atas
dasar kondisis sosial tersebut. Serta pembaca yang akan membaca, menikmati,
serta memanfaatkan karya sastra tersebut.
BAB 2
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI SASTRA
A.
Teori Mimesis dan Kreasi: Plato dan
Aristoteles
Sastra diciptakan untuk dinikmati, difahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Bisa dikatakan sastra muncul beriringan dengan adanya
fenomena di sebuah massyarakat. Memang paradigman sosiologi sastra terjadi
akibat adanya hubungan anatara sastra dan masyarakat. Maka dari itu, sosiologi
karya sastra, dianggap sebagai perkembangan dari pendekatan mimetik, yang
dikemukakan Plato, yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas
dan aspek sosial kemasyarakatan.
Menurut pandangan Plato, segala yang ada di
dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang
berada di dunia gagasan ketika seorang penyair membuat puisi tentang pohon, dia
hanyalah menggambarkan tiruan dari sebuah pohon. Oleh
karena sastra yang di ciptakan hasil dari turuan yang tercermin dari
masyarakat. Dalam teorinya itu juga disebut-sebut tentang tiga macam
"seniman": pengguna, pembuat, dan peniru. Pengguna memberi petunjuk
kepada pembuat tentang cara pembuatan sesuatu, yang kemudian ditiru oleh
peniru. Dari urutan itu jelas bahwa yang tertingginilainya menurut Plato adalah
pengguna, yang nomor dua pembuat, dan nomor tiga peniru.
Hubungan
antara sastra dengan masyarakat selanjutnya dirumuskan kembali oleh
Aristoteles, dengan teori kreasi. Berbeda dengan Plato yang cenderung
merendahkan karya seni dalam hubungannya kenyataan, Aristoteles memberikan
penghargaan yang tinggi terhadapkarya seni. Menurutnya karya seni, menjadi
sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman
tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan
dikomunikasikan dengan jalan lain (Teeuw, 1988:222).
Dalam
sosiologi sastra, teori Plato dan Aristoteles dianggap mendasari kajian
sosiologi karya sastra, yang membahas ”kenyataan” yang terdapat dalam karya
sastra dalam hubungannya dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan
menganggap sastra sebagai sarana untuk mencatat dokumen sosial historis
masyarakat.
B.
Hubungan antara Sastra dengan Lingkungan
Sosial, Iklim, Geografi, dan Lembaga Sosial:
Johan Gottfried von Herder dan Madame de Stael
Seiring perkembangan waktu, beberapa ahli sosiologi sejak
abad yang lalu telah mencoba menyinggung-nyinggung sastra, mereka masih
menganggap sastra sekedar sebagai bahan untuk menyelidiki struktur social,
bahkan menganggap bahwa sosiologi sastra terpisah-pisah, dan sosiologi sastra
ternyata muncul sangat terlambat di banding dengan sosiologi agama, sosiologi
Pendidikan, serta sosiologi politik. Barangkali kesulitannya terletak pada
kenyataan bahwa yang dihadapi sosiologi sastra adalah unikum yang biasa
didekati dengan cara yang sangat subyektif. Kebanyakan tulisan sosiologi sastra
sangat buruk mutunya, setidak-tidaknya menurut Swingewood (1972; 13).
Hubungan karya sastra dengan iklim sosial dan politik memang
mempengaruhi karya sastra. Kita amati saja karya sastra angkatan-45 yang di
pelopori oleh Chairil anwar. Karya sastra angkatan 45 diwarnai dengan pengalman
hidup dan gejolak perpolitikan, serta budaya yang terjadi di Indonesia. Maka
karya sastra 45 lebih bersifat ekspresif revolusioner dan naasionalis.
Mengingat iklim sosial pada masa itu berkaitan dengan kemerdekaan.
Johann Gottfried von
Herder dikenal sebagai seorang penyair, yang termasuk dalam periode klasik
sastra Jerman mempunyai gagasan penting bahwa setiap karya sastra berakar pada
suatu lingkungan sosial dan geografis
tertentu (iklim, lanskap, ras, adat istiadat, dan kondisi politik). , Herder juga mengunakan sejarah sebagai
acuan untuk menganalisis sastra, sebaliknya sastra juga digunakan untuk memahami sejarah (Damono, 1979:19). Hubungan
antara sastra dengan iklim, geografi,
dan lingkungan sosial juga dikemukakan oleh Madame de Stael (1766-1817),
seorang kritikus dan sastrawan Perancis. Stael menunjukkan bahwa keberadaan,
ciri-ciri, dan perkembangan sastra tidak dapat dilepaskan dari subjek pencipta
dan masyarakat pembaca yang menikmatinya, yang dibentuk oleh kondisi alam dan
lingkungan sosial budayanya. Artinya, konteks sangat berpengaruh terhadap
keberadaan dan perkembangan sastra suatu bangsa.
Karya sastra berdasakan kondisi alam dan lingkungan susial
dapat digambarkan pada karya sastra novel yang berjudul Simple Miracles karya
Ayu Utami, seperti yang dijelaskan pada Jurnal Teguh Alif Nurhuda, yang
berjudul “KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL SIMPLE
MIRACLES KARYA AYU UTAMI SERTA RELEVANSINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA”, Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya hubungan sosial antar tokoh baik dalam satu
anggota keluarga maupun di luar anggota keluarga. Selain itu hasil dari
penelitian ini dapat disimpulkan dari 18 nilai pendidikan karakter yang
ditentukan oleh pemerintah terdapat sepuluh nilai pendidikan karakter di dalam
novel tersebut, di antaranya religius, jujur, toleransi, mandiri, demokratis,
rasa ingin tahu, bersahabat, gemar membaca, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Novel ini juga memiliki nilai kebudayaan lokal di dalamnya, religius, dan
sosial. Dari penjelasan novel tersebut sangat jelas bahwa perkembangan karya
sastra di pengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya masyarakat.
C.
Asal-usul (Genetik) Karya Sastra: Hippolyte
Taine dan Lucien Goldmann
Orang yang dianggap sebagai peletak dasar-dasar
mazhab genetik dalam kritik sastra adalah Hippolyte Taine, filsuf, sejarawan,
politisi, dan kritikus Perancis yang hidup antara tahun 1766 dan 1817. Dalam
pandangan Tin bahwa hubungan karya sastra dengan pengarang diciptakan melalui
imajinasi yang pemahaman tentang sesuatu yang terjadi dalam kondisi
masyarakatnya dengan norma-norma nalar dari kelompok dan pengarang itu hidup.
Bagi Taine, sastra bukanlah sekedar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya,
tetapi merupakan rekaman tata cara jamannya, suatu perwujudan macam pikiran
tertentu. Novel, misalnya, adalah cermin yang bisa dibawa ke mana pun—dan
paling cocok untuk memantulkan segala aspek kehidupan dan alam.
Novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari,
pandangan dunia kelas sosial Ahmad Tohari, dan struktur sosial masyarakat yang
melatarbelakangi lahirnya novel tersebut. Pada jurnal Dewi Nurhasanah yang
berjudul “STRUKTURALISME GENETIK LUCIEN GOLDMANN DALAM NOVEL ORANG-ORANG
PROYEK KARYA AHMAD TOHARI” mengungkapkan bahwa novel Orang-orang Proyek
menggambarkan adanya beberapa hubungan oposisi, yaitu oposisi kultural, oposisi
alamiah, oposisi sosial, dan oposisi manusia; struktur karya sastra
mengekspresikan pandangan dunia yang idealis-humanis dan sosialis-religius;
struktur sosial masyarakat Indonesia sedang mengidap penyakit korupsi pada saat
novel dilahirkan. Kondisi sosial tersebut melatarbelakangi penciptaan novel,
yang kemudian terlihat ada koherensi antara struktur di novel dengan struktur
sosial di masyarakat.
Kajian sastra yang menekankan pada aspek genetik
(asal-usul) sastra selanjutnya dikembangkan oleh kritikus Lucien Goldmann dari
Perancis, yang dikenal dengan pendekatan strukturalisme genetik. Goldmann
memahami asal-usul karya sastra dalam hubungannya dengan pandangan dunia
kelompok. sosial pengarang dan kondisi sosial masyarakat yang melahirkan karya
sastra (Goldmann, 1981:74). Artinya bahwa pandangan dunia itu, karya sastra
dianggap menjadi aspirasi bagi kalangan masayrakat dan sang pengarang
mengungkapkan pandangan dunia masyarakat itu melalui sebuah karya sasatra.
Goldmann, memahami karya sastra pada dasarnya adalah memahami asal-usulnya
dalam hubungannya dengan pandangan dunia masyarakat yang melahirkannya, seperti
yang disuarakan oleh pengarang sebagai wakil masyarakatnya.
D.
Sastra dan Marxisme: Karl Marx, Frederick
Engels, Georgi Plekanov, Georg Lukacs
Sastra memang selalu dikaitkan bahkan
dihubungkan dengan masyarakat. Dan memang keterkaitan antara sastra dan
masyarakat di setujui oleh banyak pandanan para ilmuan. Seperti halnya
pemikiran Marxis, hubungan antara sastra dengan masyarakat, juga berkembang di
kalangan para pemikiranya. Marxisme adalah aliran pemikiran yang dikembangkan
oleh Karl Marx dan Frederick Engels, dalam buku mereka yang berjudul The German Ideology. Marxisme karya
sastra dianggap sebagai salah satu bentuk superstuktur masyarakat, yang
keberadannya tidak dapat dipisahkan dengan infrastuktur (basis material) yang
mendasarinya.
Marx (via Damono, 1979:26) menganggap sastra,
sebagaimana politik, ideologi, dan agama adalah wilayah superstruktur,
keberadaannya bertumpu pada basis ekonomi (infrastruktur). Sastra haruslah
berpijak dari realitas sosio historis. Pandangan itu menganggap pijakan sastra
harus dengan pijakan pada realitas sosial historis. Hal tersebut ditandai
dengan perjuangan kelas dan sastra haruslah dijadikan alat perjuangan untuk
mengahapuskan kelas tersebut.
Pendapat tersebut selanjutnya didukung oleh Tolstoy
(via Damono, 1979:31), Sastra harus menjadi bagian dari perjuangan kaum
proletar,harus menjadi sekrup kecil dalam mekanisme sosial demokratik.
Pandangan tersebut menggambarkan bahwa sastra haruslah menjadi alat perjuangan
masyarakat dan menjadi motor penggerak dalam sosial demokrasi di masayrakat.
Apa yang dikemukakan oleh Marx dan Tolstoy
Berbeda dengan Engels (via Damono, 1979:26) yang
menganggap sastra adalah cermin pemantul proses sosial, tetapi hubungan isi
sastra (dan filsafat) lebih kaya dan samar-samar dibandingkan dengan isi
politik dan ekonomi. Ia juga menambahkan penciptaan karya sastra harus
disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si penulis,
semakin bermutulah karya yang ditulisnya. Isi novel (:muatan ideologis) harus
muncul ecara wajar dalam situasi dan peristiwa yang ada di dalamnya.
Apa yang dikemukakan oleh Engels, sejalan dengan
pandangan Plekanov (pendiri partai emansipasi buruh di Rusia) yang mengatakan
bahwa dalam sastra, gagasan yang mengandung muatan ideologis harus dinyatakan
secara figuratif, sesuai dengan kenyataan yang melingkunginya. Seni adalah cermin kehidupan sosial, tetapi
memiliki insting estetik yang sama sekali nonsosial dan tak terikat pada
kondisi sosial tertentu (Damono, 1979:29)
E.
Sosiologi Pengarang, Sosiologi Karya
Sastra, dan Sosiologi Pembaca dan Pengaruh Sosial Karya Sastra: Rene Wellek dan
Austin Warren, dan Ian Watt
Karya sastra memiliki tiga komponen yang
masing-masing saling memberikan timbal balik
dan saling berhubungan. omponen itu adalah pengarang, masyrakat dan
pembaca. Hubungan tersebut menjadi dasar pembagian sosiologi sastra oleh Rene
Wellek dan Austin Warren, serta Ian Watt.
Dalam bukunya Theory of Litetarure, Rene Wellek dan Austin Warren
(1994), menawarkan adanya tiga jenis sosiologi sastra., sosiologi
pengarang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil
sastra. Sosiologi karya sastra memasalahkan karya sastra itu sendiri. Mengkaji
apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Sosiologi
pembaca mengkaji pembaca yang pengaruh sosial karya sastra
Watt juga mempunyai tiga pembagian sastra dalam
esainya “Litetarure an Society” (via Damono, 1979:3). Ian Watt, membedakan
antara sosiologi sastra yang mengkaji konteks sosial pengarang, sastra sebagai
cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Menurut Wellek dan Warren,
sosiologi pengarang memasalahkan status
sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai
penghasil sastra. Sosiologi karya sastra memasalahkan karya sastra itu sendiri.
Mengkaji apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
Sosiologi pembaca mengkaji pembaca yang pengaruh sosial karya sastra.
3.
Kesimpulan
Penulis menyimpulkan berdasarkan persepektif
sosiologi sastra, karya sastra sangat berhubungan dengan kemasyarakatan. Karya sastra lahir dan
tumbuh dan berkembang dimasyarakat. Karenanya memiliki komponen yang tidak
terpisahkan yaitu pengarang, karya sastra dan juga pembaca. Hal itu bertalian
dengan pendapat Rene Wellek Dalam bukunya Theory of Litetarure, Rene Wellek dan
Austin Warren (1994), menawarkan adanya tiga jenis sosiologi sastra, yaitu
sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca dan pengaruh
sosial karya sastra. Hal sama disampaikan oleh sapardi djoko darmono menyebut
bahwa karya satra tidak tiba-tiba muncul dari langit. Hal itu berarti karya
sastra harus keterkaitan anatra ketiga variable itu.Berdasarkan dari
teori-teori diatas bisa disimpulkan bahwa sosiologi sastra memandang karya
sastra berhubngan dengan masayrakat, diciptikan berdasarkan imajinasi dan
sesuai kenyataan terjadi di masyarakat seperti kehidupan sosial, budaya politik
hal tersebut di rekam dan dokumntasikan dalam sebuah karya sastra.
Daftar
Pustaka :
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra:
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud
Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Kanwa Publisher
Nurhasanah Dewi. 2015. STRUKTURALISME GENETIK
LUCIEN GOLDMANN DALAM NOVEL ORANG-ORANG PROYEK KARYA AHMAD TOHARI. Yogyakarta:
Jurnal Universitas Gadjah Mada
Muslimin. 2011. MODERNISASI DALAM NOVEL BELENGGU
KARYA ARMIJN PANE. Jurnal Bahasa. ISN. 2088-6020
0 Comments