Kedwibahasaaan dan Diglosia
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan masyarakat,
manusia memiliki alat komunikasi dan interaksi yaitu sebuah bahasa. setiap
komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran,
gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi
yang baik antar masyarakat. Dalam
sebuah komunikasi terdapat hal seperti siapa penutur, dengan siapa penutur berbahasa, apa yang
dibahas dalam tuturan, untuk apa tutur dilakukan, dan bahasa apa yang digunakan
penutur. Terkait dengan penutur dan bahasa yang digunakan penutur, dalam
sosiolinguistik dikenal istilah bilingualisme dan diglossia Lalu bagaimana
bilingualisme di dalam kajian sosiolinguistik? Dan apa itu diglosia? Pembahasan
lebih lajut mengenai bilingualisme dan diglosia akan diuraikan dalam makalah
ini sebagai berikut.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat
banyak. Sehingga menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang
memiliki bahasa yang berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat Indonesia memiliki dan
menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih dari satu bahasa ini
disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu bahasa disebut
bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu bahasa yang
kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Akan tetapi
dalam sebuah masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur
lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau
berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur ini akan tetap
menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang
monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai
hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan mengalami apa yang disebut
kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya.
Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya
kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolingistik disebut bilingualisme dan
diglosia. makalah ini, akan dibicarakan tentang bilingualisme dan diglosia, serta bagaimana hubungan atau kaitan antara keduanya.
B.
Rumusan Masalah
Pada pembahasan di atas
dapat diidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana definisi dari bilingualisme?
2.
Bagaimana definisi dari diglosia?
3.
Bagaimana hubungan dari bilingualisme dan diglosia?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas dapat diambil tujuan masalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian dari bilingualisme.
2.
Untuk mengetahui pengertian dari diglosia.
3.
Untuk mengetahui hubungan dari bilingualisme dan diglosia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bilingualisme
Bilingualisme
berasal dari bahasa inggris bilingualism. Bi berarti dua, lingual berarti
bahasa, dan isme adalah aliran, ajaran atau sifat. Dalam bahasa indonesia,
bilingual disebut juga sebagai kedwibahasaan, maksudnya penggunaan dua bahasa
atau dua kode bahasa. Dari sudut pandang sosiolinguistik, bilingualisme secara
umum diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua
bahasa, penutur harus menguasai kedua bahasa tersebut, terdiri atas bahasa ibu
(B1) dan bahasa asing (B2). Sedangkan seorang yang dapat menggunakan dua bahasa
disebut dengan bilingual atau dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia
kedwibahasaan).
Pandangan
beberapa ahli mengenai definisi bilingualisme. Menurut Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan
bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua
bahasa dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila
dapat menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya. Sedangkan menurut Robert Lado (1964:214) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama
baik atau hapir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua
bahasa bagaimanapun tingkatnya.
Menurut Macnamara (1967)
mengemukakan rumusan yang lebih longgar. Menurutnya kebdwibahasaan itu mengacu
kepada pemilikan kemampuan sekurang-kurangnya B1 dan B2, meskipun kemampuan
dalam B2 hanya sampai batas minimal. Pendapat tersebut sama seperti yang disampaikan Haugen (1961) seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan
kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga
mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan
sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang
yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan
selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Menurut Abdul Chaer dan Leonie
Agustina, bilingual adalah penguasaan bahasa mulai dari rentangan jenjang B1
ditambah tahu sedikit akan bahasa asing B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2
sehingga sama baiknya dengan penguasaan B1, tentu untuk fungsi dan situasi apa
saja. Meskipun bilingual yag dapat menguasai B1 dan B2 dengan sama baiknya
sangat jarang sekali ditemukan. Biasanya apabila seseorang menguasai dua bahasa
dengan sama baik, hanya dalam ranah atau domain tertentu dan lemah dalam domain
lainnya. Sedangkan menurut pendapat Weinreich (1953:1) kedwibahasaan adalah
kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian (the pratice of
alternately using two languages).
Bilingualisme akhirnya
merupakan satu rentengan berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik
karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan
penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya
dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang
yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi
dan situasi apa saja dan di mana saja.
Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti
menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa
bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan parole,
yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme
adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa
yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan
penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud
dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain,
Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa
membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai
dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa
yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan
penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme.
Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang
dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi
bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa
di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue
sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan
bahasa adalah dialek juga, maka hampir semua anggota masyarakat Indonesia
adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya
sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari
bahasa itu.
Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara
bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus
menggunakan B2-nya dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk
menggunakan B1-nya atau B2-nya?” Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok
sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan
dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para
anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan
B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial
pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan
seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak
sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat
tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang
terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gajala
bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang diguanakan penutur biligual
secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri
ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue,
melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu
memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme
adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa secara
bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat
tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya
milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak
terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai
alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja,
melainkan sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa
merupakan identitas kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah
masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat
komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada
sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas,
mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu
ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang
atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa
itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja,
dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan
tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Keadaan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa
berdasarkan fungsi atau peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya,
didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.
B. Pembagian Kedwibahasaan
Menurut
Chaer dan Agustina (2004:170) ada beberapa jenis pembagian kedwibahasaan
berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut.
a. Kedwibahasaan Majemuk (Compound
Bilingualism)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari
pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada
kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa
dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
b. Kedwibahasaan
Koordinatif/Sejajar
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang
individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2.
Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
c. Kedwibahasaan Subordinatif
(Kompleks)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan
B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi
B1, adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat
suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat
kehilangan B1-nya.
d. Baeten Beardsmore
Menambahkankan
satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu
kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses
menguasai B2.
e. Pohl
Tipologi
bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka
Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu sebagai berikut.
1. Kedwibahasaan
Horizontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan
situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki
status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan
keluarga dari kelompok pemakainya.
2. Kedwibahasaan
Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan
ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
3. Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal
Bilingualism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya
tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh
masyarakat itu.
C.
Diglosia
Kata diglosia
berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais,
seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi
linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Standford University
yaitu C.A. Ferguson pada tahun 1958. Fishman (1972: 92) menganjurkan
bahwa dalam mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknya
diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia
diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi
kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swis, dan Haiti.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan
dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut
Ferguson adalah:
A.
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif
stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa,
terdapat juga sebuah ragam lain.
B.
Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa
sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
C.
Ragam lain itu memiliki ciri:
1. Sudah terkodifikasi
2. Gramatikalnya lebih
kompleks
3. Merupakan wahana
kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
4. Dipelajari melalui
pendidikan formal
5. Digunakan terutama dalam
bahasa tulis dan bahasa lisan formal
6. Tidak digunaakan dalam
percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan
topik, yaitu:
1. Fungsi, merupakan kriteria
diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis
terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi
(T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
2. Prestise, dalam masyarakat
diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih
superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R
dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3. Warisan Kesusastraan, pada
tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat
kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat
bahasa tersebut.
4. Pemerolehan,
ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5. Standardisasi, karena ragam
T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau
standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi formal.
6. Stabilitas, kestabilan
dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah
variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7. Gramatika, Ferguson
berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk
dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
8. Leksikon, sebagian besar
kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T
yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata ragam R
yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
9. Fonologi, dalam bidang
bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan
tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pada bagian akhir dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu
masyarakat digllosis bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun
terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan itu antara lain,
(1) meningkatkan kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu
negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme
dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan
suatu bangsa
Juga dipersoalkan, ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional,
ragam T atau ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat
menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat.
Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja
(1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2)
apabila masyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.
D. Kaitan Bilingualisme dan
Diglosia
Diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan
bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian
dalam masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan
bilingualisme itu menjadi empat jenis,
1. Diglosia dan Bilingualisme
adanya
dua bentuk bahasa dalam masyarakat. Distribusi stabil atau tetap dari variasi-variasi bahasa sesuai
dengan fungsi sosialnya.
2. Diglosia tanpa bilingualisme
dalam
masyarakat bahasa, terdapat perbedaan fungsional yang ketat dari ragam-ragam
bahasa sesuai dengan T dan R. Dalam kasus ini, adalah perilaku kelompok dari
kekuatan yang berkuasa (ragam T), bukan hanya hidup jauh dari orang-orang
biasa, melainkan sengaja membedakan bahasa mereka dari banyak
orang. Kasus ini sering ditemukan dalam masyarakat yang pernah dijajah.
3. Bilingualisme tanpa diglosia.
Diglosia
ditandai dengan distibusi fungsi sosial yang bervariasi sesuai dengan suasana
individual ataupun sosial. Jadi, bilingualisme bervariasi sesuai
dengan situasi peran topik dan tujuan komunikasi.
4. Tanpa bilingualisme dan diglosia
Jenis ini
terdapat pada masyarakat yang terisolasi.masyarakat yang tidak berhubungan
dengan dunia luar. Menurut Fishman, jenis ini jarang ditemukan.
Sedangkan hubungan antara bilingual dan diglosia dalam Kunjana Rahardi,
masyarakat tutur bilingual dan diglosik adalah salah satu jenis masyarakat
tutur yang warga penuturnya menguasai dua bahasa atau lebih, dan di antara
bahasa-bahasa yang digunakan itu masing-masing memiliki peran yang berbeda.
Kunjana memberikan contoh masyarakat yang memenuhi tipe ini dan dapat dijadikan
tempat memperoleh data penelitian sosiolinguistik, yaitu masyarakat tutur di
wilayah DI Yogyakarta. Masyarakat bilingual terjadi akibat adanya komunikasi
dan interaksi antarkode yang dilakukan individu satu dengan individu lain dalam
suatu masyarakat (bdk. Weinreich, 1953: 1).
Keadaan yang terjadi ketika dalam suatu masyarakat terdapat banyak
individu yang memiliki dan menguasai banyak bahasa (multilingual) atau
sedikitnya dua bahasa (bilingual), ialah terdapat kode-kode bahasa,
variasivariasi bahasa, serta perbedaan peran dan fungsi dari masing-masing kode
dan variasi bahasa yang dimiliki dan digunakan masyarakat. Sebagai contoh
adalah masyarakat Jawa memiliki dan memakai bahasa Jawa, sedang bahasa Jawa
memiliki variasi bahasa, yaitu bahasa Jawa ngoko dan krama. Kemudian variasi bahasa
Jawa ngoko dan krama, memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Bahasa Jawa ngoko
dipakai sebagai bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa Jawa krama biasa digunakan
dalam suasana seremonial, seperti upacara perkawinan. Kondisi demikian dalam
studi sosiolinguistik dikatakan bersifat diglosik. 11 R. Kunjana Rahardi,
Kajian Sosiolinguistik: Ihwal Kode dan Alih Kode,
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum dalam sosiolinguistik, Dwibahasa diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Diglosia
berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia
adalah dialek-dialek yang dikuasai seseorang dalam suatu bahasa. 3. Kaitan
bilingualisme dengan diglosia ada empat, yaitu bilingual-diglosia, bilingual
tanpa diglosia, diglosia tanpa bilingual, serta tidak bilingual dan tidak
diglosia.
B. Saran
Dengan membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat
mengambil hikmah sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa
dalam makalah ini terdapat banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan
kiranya jika terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan
pertimbangan untuk perjalanan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati, Muhammad
afifuddin. Muhadharah Fi Ilmu Lughah Al Ijtimai, 2010. Surabaya:
Dar Al Ulum Al Lughah.
Aslinda dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik. 2007. Bandung: Refika
Aditama.
Chaer, Abdul dan Danlleonie
Agustina. Sosiolinguistik. 2014. Jakarta: Rineka Cipta. Mar’at, Samsunuwiyati.
Psikolinguistik: Suatu Pengantar. 2005. Bandung: Refika Aditama.
Rokhman, Fathur. 2003. “Pemilihan
Bahasa Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosolinguistik di Banyumas”. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Rahardi, R. Kunjana. Kajian
Sosiolinguistik: Ihwal Kode dan Alih Kode. 2010. Bogor: Ghalia Indonesia.
0 Comments